SEKILAS INFO
: - Jumat, 19-04-2024
  • 3 minggu yang lalu / Kegiatan smartren SMA NU Juntinyat berlangsung dari tanggal 25 Maret – 4 April 2024.
Pendidikan Holistik Pesantren, Modal Utama Hadapi Tantangan Zaman

Dewasa ini, arus informasi dan kemajuan teknologi berkembang pesat. Akses pendidikan juga semakin mudah. Namun sayangnya hal ini belum berbanding lurus dengan terciptanya masyarakat beradab yang menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Seperti sikap jujur, adil, sederhana, toleran, disiplin, dan bertanggung jawab.

Nilai-nilai ini seharusnya lahir dari proses pendidikan. Dalam pendidikan sejatinya berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya yang mencakup penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Bukan hanya terampil pada aspek kognitif saja, pendidikan juga diharapkan menjadi upaya pembentukan karakter yang berbudi pekerti luhur dalam menjalani kehidupan.

Oleh karena itu, proses pendidikan diharapkan memiliki dampak yang terintegrasi baik dari aspek kognitif, afektif, maupun sikap dan moral. Dalam dekade terakhir ini muncul istilah pendidikan holistik yang digagas pada tahun 1960-an. Menurut Ron Miller (pendiri jurnal pendidikan holistik “Education for Meaning and Social Justice”) pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.

Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, di antaranya adalah Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Threau, Bronson Al-Cott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel, dan Francisco Ferrer. Juga tercatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistic, yaitu Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.

Konsep pendidikan holistik ini sempat ditinggalkan para pakarnya pada era tahun 1960-an, namun pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali sejak dilaksanakan konferensi pertama pendidikan holistik internasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979.

Konferensi pertama pendidikan holistik internasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979 meghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3R (Relationship, Responsibility, dan Reverence). Berbeda dengan pada umumnya yang mengartikan 3R adalah writing, reading, dan arithmetic (Calistung (membaca, menulis, dan menghitung).

Dalam prinsip pendidikan holistik memerhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, maupun spiritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, strategi pembelajarannya juga lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.

Maka pendidikan yang holistik harus mengembangkan semua potensi yang ada pada diri peserta didik sehingga tercipta pribadi yang utuh (paripurna). Prinsip holistic juga berkaitan dengan beberapa aspek, yakni aspek fisik (terkait dengan perkembangan motorik halus, motorik kasar, dan kesehatan fisik tubuh), aspek emosional (mampu mengendalikan jiwa dan tekanan/stress, mampu mengontrol diri dari perbuatan negatif, memiliki rasa percaya diri, berani mengambil resiko, dan memiliki empati.

Aspek sosial (menumbuhkan rasa senang melakukan pekerjaan, mampu bekerja sama, pintar bergaul, peduli dengan masalah sosial, berjiwa sosial, dan dermawan, bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan dan keunikan, mematuhi peraturan yang berlaku), Aspek kreativitas (mendorong anak untuk mampu mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif seperti dalam dunia seni, berbahasa, berkomunikasi, dan sebagainya).

Dari aspek spiritual (mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan bersikap taat terhadap ajaran agama yang diyakini melalui perbuatan baik dan konsisten), dan aspek akademik (mampu berpikir logis, berbahasa, dan menulis dengan baik, juga dapat mengemukakan pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari beragai informasi dengan cermat).

Model pendidikan holistik menggunakan tiga pendekatan, knowing the good (aspek kognitif), feeling and loving the good, acting the good. Dalam prosesnya terjadi pembiasaan yang berulang-ulang sehingga terbentuklah karakternya. Pendidikan holistic ini bertujuan untuk menciptakan pribadi yang paripurna (insan kamil).

Jika dilihat dari konsep pendidikan holistik yang telah dipaparkan diatas, maka sebenarnya konsep tersebut tidaklah asing di dunia pesantren. Bahkan jauh lebih dulu pendidikan pesantren yang telah menerapkan konsep pendidikan yang teritegrasi dan menyeluruh. Pendidikan pesantren yang berbasis pendidikan Islam, berupaya mewujudkan manusia yang berakhlak (ta’dib), peningkatan pengajaran (ta’lim), dan pembinaan (tarbiyah).

Hal ini karena tujuan pendidikan pesantren lebih mengutamakan at-tarbiyah dari pada at-ta’lim (pengajaran), namun bukan berarti pesantren mengabaikan proses transfer ilmu pengetahuan kepada para santrinya.  Seperti yang dikemukakan Musthafa al-Maraghy, makna al-tarbiyah yakni meliputi: tarbiyah al-khalqiyah, yaitu penciptaan, pembinaan, dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sarana bagi pengembangan jiwanya.

Dan tarbiyah al-diniyah al-tahdibiyah, pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu ilahi. Dengan demikian pendidikan yang terkandung dalam al-tarbiyah mencakup berbagai kebutuhan manusia, baik kebutuhan dunia akhirat maupun kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam lingkungan, dan relasinya dengan Tuhan.

Maka tak heran jika salah satu ciri khas pondok pesantren adalah menerapkan kurikulum yang terintegrasi/terpadu (Integrated learning/integrated curriculum). Pendidikan yang terintegrasi ini bercita-cita untuk membangun manusia yang utuh, paripurna (kaffah) atau insan kamil. Dengan demikian, maka tugas pendidikan adalah mengembangkan semua potensi yang ada agar dapat hidup sebagai pribadi yang seutuhnya dan berkarakter, bukan pribadi yang terpecah (split personality) yang diakibatkan kesalahan sitem pendidikan yang hanya mengembangkan satu atau beberapa potensi (kemampuan).

Jika dilihat lebih rinci lagi, pendidikan pesantren selain untuk transfer ilmu, pembentukan karakter dan spiritual, juga tak terlepas dari konsep pengabdian masyarakat. Oleh karena itu tak heran jika pesantren dan para santrinya selalu menjadi garda terdepan dalam membela bangsa.

Ada beberapa hal yang bisa dirinci dari pola pendidikan pesantren yang terintegrasi (holistik), diantaranya adalah:

Pesantren dan Pendidikan Spiritual

Jika melihat kurikulum pendidikan pesantren pada umumnya, Pelajaran pertama yang akan diajarkan dalam pesantren kepada anak didiknya adalah dasar-dasar keimanan (tauhid/rukun iman) dan pelajaran fiqih sebagai tata cara menjalankan kewajiban agama (rukun Islam).

Dalam hal spiritual, kaum santri pasti mengenal istilah ‘nderek kiai’. Di pesantren, kiai menjadi tokoh sentral yang mampu menciptakan teladan, tontonan, dan uswah baik bagi para santri dan pengajar di lingkungan pesantren, maupun di lingkungan masyarakat.

Hubungan santri dan kiai tidak hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan tetapi juga pendidikan jiwa bagi para santri untuk mengasah kepekaan, memperhalus budi-pekerti (akhlaqul karimah) dalam berperilaku dan berpengetahuan, dan dalam bersikap terhadap berbagai aspek kehidupan.

Pendidikan pesantren memiliki prinsip-prinsip pokok tradisi keulamaan, dengan ketiga prinsipnya: pendidikan sebagai sarana membentuk kemampuan bekerja, berkarya, dan beramal saleh. Berguru sebagai sarana utama untuk memahami pengalaman manusia, menguji dengan kritis berbagai kecenderungan dunia, dan untuk memahami karakter khusus bangsa. Pendidikan pesantren sebagai pedidikan seumur hidup dengan tradisi keagamaan Aswaja dan juga sepanjang usia kehidupan nusa-bangsa.

Pesantren dan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter di pondok pesantren selain berasal dari teladan para kiai, juga terkait dengan pola kepengasuhan pesantrennya. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di pesantren secara memadai.

Kondisi lingkungan pesantren yang merupakan bentuk dari replika hidup bermasyarakat pada umumnya, menjadikan pembentukan karakter di pesantren jauh lebih mudah dibandingkan dengan lembaga lainnya. Dalam proses pembentukan karakter, para santri secara otomatis melakukan sikap yang berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan, dan kebiasaan inilah yang akan menjadi karakter pada diri santri di kemudian hari.

Pesantren dan Pendidikan Kebangsaan

Jika dilihat dari pola-pola pendidikan pesantren, maka akan ditemukan bahwa pesantren menerapkan pendidikan kebangsaan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa faktor: Pertama, Pesantren mengajak bangsa ini untuk mandiri bukan hanya soal ekonomi dan politik, juga dalam hal kebudayaan dan kerja-kerja pengetahuan.

Kedua, pesantren juga mengajarkan anak-anak didiknya untuk bergaul dan bersatu di antara sesama anak-anak bangsa. Mereka diajarkan untuk berinteraksi satu dengan lainnya secara harmonis, dan masih banyak faktor-faktor lain yang menunjukkan bahwa pesantren telah menerapkan pendidikan kebangsaan di dalamnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan holistik sebenarnya sudah diterapkan di dunia pesantren jauh lebih lama dari munculnya konsep tersebut. Pendidikan yang terintegrasi ini sangat cocok dan harus dipertahankan di lingkungan pesantren. Maka sangat cocok dikatakan bahwa pendidikan holistik di pesantren ini menjadi modal utama lembaga pendidikannya untuk menghadapi tantangan zaman.

TINGGALKAN KOMENTAR

WhatsApp chat